Kota Teheran, Iran, tempat dimana Bahá’u’lláh dilahirkan
Kota Teheran, Iran, tempat dimana Bahá’u’lláh dilahirkan

Bahá’u’lláh, Yang bernama Mírzá Husáyn Ali, dilahirkan pada tahun 1817 di Teheran, ibu kota Persia. Ayahnya, Mírzá Buzurg, adalah seorang bangsawan terkemuka yang memiliki kedudukan tinggi di istana Raja Persia.

Bahá’u’lláh merupakan seorang anak yang menakjubkan. Beliau dikarunia bakat yang luar biasa secara intelektual. Sikap dan watak-Nya mengejutkan semua orang yang berjumpa dengan Beliau. Orang-orang dewasa pun bertanya-tanya satu sama lainnya tentang watak Bahá’u’lláh, “Bagaimana anak muda ini memiliki sikap dan tingkat pemahaman yang lebih hebat daripada kita?” Tanggapan beliau sangat mendalam. Mereka sangat kaget ternyata Beliau tidak pernah bersekolah. Tingkat intelektual dan rohani Beliau melampaui orang-orang dewasa.

Rumah Bahá’u’lláh di Takur, Mázindarán
Rumah Bahá’u’lláh di Takur, Mázindarán

Dengan semakin tumbuh dan dewasanya Bahá’u’lláh, tanda-tanda kebesaran-Nya pun semakin nyata. Ketika mencapai usia remaja, Dia termasyhur karena kecerdasan-Nya yang tinggi, akhlak-Nya yang unggul, serta kasih-sayang dan kedermawanan-Nya. Dia mampu memecahkan masalah-masalah yang pelik dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang rumit dan besar. Tetapi walaupun memiliki kemampuan yang luar biasa, Dia tidak pernah mengejar kedudukan dan pangkat.

Bahá’u’lláh, pada umur 22 tahun, seharusnya mengatikan posisi ayah-Nya sebagai pejabat pemerintah, sebagaimana lazimnya pada saat itu. Beliau menolak jabatan itu, dan memilih untuk tetap hidup sebagai warga biasa. Dia tidak tertarik pada gelar dan pangkat di dunia ini. Keinginannya adalah membela kaum miskin dan melindungi orang-orang yang tidak mampu. Hari demi hari, banyak orang-orang yang memerlukan pertolongan. Dari pagi hingga malam, tidak hentinya para tamu datang mengunjungi-Nya. Karena inilah Beliau menerima gelar “Ayah dari para fakir miskin”.

Pemandangan di Badhast, tempat  pertemuan para pengikut Sang Báb
Pemandangan di Badhast, tempat pertemuan para pengikut Sang Báb

Seorang pemuda yang dikenal sebagai Sang Báb, atau “Pintu Gerbang”, telah bangkit untuk membangunkan umat manusia dan mempersiapakan dunia akan seorang Utusan Tuhan lainnya.  Tiga bulan setelah Sang Báb mengumumkan misi-Nya, Bahá’u’lláh menerima surat dari Sang Báb yang bersisi beberapa Tulisan Suci. Bahá’u’lláh berusia dua puluh tujuh tahun ketika Sang Báb mengumumkan Misi-Nya pada tahun 1844. Beliau langsung naik saksi akan kebenaran Wahyu Sang Báb dan bangkit memajukan Ajaran-Nya. Namun, Ajaran Sang Báb dipenuhi dengan perlawanan dari mereka yang berkuasa. Para pemuka agama dan pemerintah kian menetang Beliau dan terus-menerus menganiaya para pengikut-Nya. Ribuan orang pun dibunuh.

Pada tahun 1850 Sang Báb dieksekusi secara dramatis. Setelah Sang Báb dieksekusi, para pengikut-Nya terus dianiaya, dan ribuan orang dibantai. Bahá’u’lláh dihadapkan dengan tuduhan palsu, dan surat perintah dikeluarkan untuk penangkapan-Nya.

Penjara Síyáh-Chál
Penjara Síyáh-Chál

Síyáh-Chál yang berarti “Lubang Hitam”, ialah nama penjara tempat Bahá’u’lláh dibawa pada hari yang penuh bencana itu. Untuk mencapai penjara itu, orang harus berjalan melewati lorong kecil yang gelap gulita, lalu menuruni tiga tangga yang curam.  Penjara itu diselimuti kegelapan yang pekat.  Tidak ada jendela maupun lubang selain dari lorong masuk yang kecil itu. Ruangan tersebut sangatlah gelap dan dingin.  Lantainya dipenuhi dengan kotoran dan sampah serta penuh dengan serangga merayap.  Sebagian besar pesakitan tidak memiliki pakaian atau alas untuk berbaring.  Baunya sangat menyengat tak tertahankan. Dalam penjara tersebut, kaki Bahá’u’lláh dipasung, dan rantai seberat 50 kilogram dikalungkan di leher-Nya. Tanda rantai yang tertinggal tampaklah jelas sepanjang hidup-Nya.

Namun di dalam penjara Síyáh-Chál ini, Tuhan memberi tahu kepada Bahá’u’lláh Kedudukan-Nya yang agung. Dalam keadaan yang paling buruk tersebut, Bahá’u’lláh menerima getaran pertama dari Wahyu Tuhan dalam jiwa-Nya. Dalam keadaan yang parah itu, “Roh Teragung” memperlihatkan diri kepada-Nya, menyuruh-Nya untuk bangkit dan menyerukan Firman Tuhan.

Demikianlah, dari balik kegelapan Lubang Hitam terbitlah Matahari Kebenaran. Janji Sang Báb telah dipenuhi. Wahyu Tuhan telah diturunkan. Namun Bahá’u’lláh tidak memberi tahu siapa pun tentang apa yang telah terjadi. Beliau menunggu saat yang ditentukan, yang ditetapkan oleh Tuhan, untuk mengumumkan Misi-Nya.

Pegunungan Zagros di Barat Iran, yang dilalui keluarga Bahá’u’lláh Menuju Baghdad
Pegunungan Zagros di Barat Iran, yang dilalui keluarga Bahá’u’lláh Menuju Baghdad

Bahá’u’lláh merasakan penderitaan berat selama empat bulan di Lubang Hitam. Pemerintah  yang berwenang  pada tahun 1853 menyatakan bahwa Beliau bersama keluarga-Nya, akan diusir selamanya dari tanah air-Nya. Sakit dan lemah, Beliau melintasi pengunungan Zagros dalam musim dingin yang sangat dingin hingga mencapai Baghdad. Ini memulai masa pengasingan yang akan berlangsung selama empat puluh tahun yang tersisa dari kehidupan-Nya. Sementara itu, kebenaran misi ilahi-Nya masih tetap tersembunyi.

Pada bulan-bulan setelah kedatangan-Nya, jumlah pengikut Sang Báb yang menuju Baghdád semakin bertambah. Sayangnya banyak yang tenggelam dalam keadaan yang menyedihkan; mereka dalam keadaan bingung, dan beberapa dari mereka melakukan tindakan yang tak layak bagi seorang pengikut Sang Báb. Dengan limpahan cinta, Bahá’u’lláh menerima semua orang yang datang itu dan membantu mereka membersihkan hati mereka dan menghidupkan kembali roh mereka. Di bawah pengaruh-Nya, nasib masyarakat pengikut Sang Báb mulai berubah dan harapan mulai muncul dan mekar kembali. Namun sayang, mulai muncul lagi krisis baru. Kali ini sumbernya dari dalam masyarakat sendiri;

Pemandangan Pegunungan Kurdistan
Pemandangan Pegunungan Kurdistan

Pagi hari tahun 1854 selama menghadapi krisis, Bahá’u’lláh memilih untuk mengasingkan diri ke pegunungan Kurdistan, di sebelah timur laut kota Baghdád. Beliau sendiri nantinya mengatakan, “Satu-satunya tujuan penarikan diri Kami adalah menghindar dari menjadi penyebab perselisihan di antara orang-orang mukmin, atau menjadi sumber gangguan pada para sahabat Kami, atau menjadi sarana untuk menyakiti jiwa siapa saja, atau penyebab kesedihan bagi hati siapa saja.”

Di tengah belantara, tidak jauh dari kota Sulaymáníyah, Bahá’u’lláh tinggal sendirian berhubungan erat dengan Tuhan. Periode ini mengingatkan pada meditasi Sang Buddha di Bodhi Gaya, empat puluh malam Yesus habiskan di gurun pasir, dan pengasingan Muhammad ke Gunung Nour.

Dengan hubungan yang singkat dan sedikit dengan masyarakat setempat, kebesaran Bahá’u’lláh tidak bisa disembunyikan dari mata mereka. Cinta dan kebijaksanaan-Nya menarik penduduk Sulaymáníyah dan ketenaran-Nya mulai menyebar ke wilayah sekitarnya. Berita tentang seseorang yang memiliki kebijaksanaan dan kefasihan yang luar biasa yang tinggal di daerah Kurdistan itu akhirnya mencapai Baghdád. Keluarga-Nya, yang mengetahui bahwa Orang itu pastilah Bahá’u’lláh, mengirim seorang mukmin yang dapat dipercaya untuk memohon pada Beliau agar kembali.

Pemandangan Kota Baghdad dan Sungai Tigris
Pemandangan Kota Baghdad dan Sungai Tigris

Selama Bahá’u’lláh tidak hadir, keadaan Para Pengikut Sang Báb mencapai titik terendah dalam sejarahnya. Sekali lagi Bahá’u’lláh melakukan tugas menghidupkan kembali masyarakat pengikut Sang Báb. Rumah sederhana tempat Beliau tinggal bersama keluarga-Nya menjadi pusat berkumpulnya para pencari, pengunjung dan peziarah. Setiap orang yang datang di hadapan-Nya menjadi berubah karena daya kata-kata-Nya yang manis dan penuh kasih. Mereka yang tinggal dekat dengan Dia, merasa seolah berada di surga. Mereka menjadi ciptaan yang baru, benar-benar terlepas dari hal-hal duniawi.

Pengaruh Bahá’u’lláh dan Ajaran-ajaran-Nya terus membuat penguasa Persia marah. Atas desakan mereka, Sultan Ottoman mengasingkan Beliau lebih jauh lagi dari tanah kelahiran-Nya. Pada April 1863 sebelum berangkat dari Baghdad, Bahá’u’lláh mengumpulkan sahabat-sahabat-Nya selama dua belas hari di sebuh taman berana Ridwan di tepi Sungai Tigris.

Di sinilah, dengan tenda-Nya dipasang sepanjang jalur yang dihiasi dengan mawar, Bahá’u’lláh mengumumkan secara terbuka untuk pertama kalinya bahwa Dia adalah Utusan Tuhan yang Dijanjikan untuk zaman ini. Pada saat ini suatu era baru dalam sejarah umat manusia dimulai. Semuanya akan berubah. Besarnya transformasi yang diminta oleh Bahá’u’lláh diisyaratkan dalam beberapa Firman-Nya mengenai hari-hari ini.

“Yang tersembunyi sekarang telah terungkap dan apa yang tersembunyi sekarang sudah tiba. Semoga dirimu menyambut Har ini, suatu hari di mana gerbang surga telah terbuka, dan kekekalan telah turun….”

Raja-raja yang dikirimi Loh oleh Bahá’u’lláh
Raja-raja yang dikirimi Loh oleh Bahá’u’lláh

Setelah meninggalkan Baghdad, Bahá’u’lláh, keluarga-Nya serta sekelompok kecil mukmin yang menemani mereka melakukan perjalanan ke Konstantinopel yang pada waktu itu adalah pusat kesultanan Usmaniyah (Turki). Setibanya di sana, Bahá’u’lláh dengan kebijaksanaan-Nya yang besar dan kepribadian-Nya yang mempesona mulai menarik hati semakin banyak orang. Namun, mereka hanya tinggal di Konstantinopel  selama empat bulan. Para penguasa yang telah mengasingkan Beliau dari kejauhan terus melakukan penindasan terhadap Orang yang kini mereka pandang sebagai pemimpin gerakan kaum Báb, sebuah perintah untuk mengasingkan Bahá’u’lláh ke kota Adrianopel, lebih jauh lagi dari perbatasan Persia.

Bahá’u’lláh memasuki Adrianopel pada tanggal 12 Desember 1863 dan tinggal di kota itu selama empat setengah tahun. Dalam keadaan penuh cobaan di Adrianopel Bahá’u’lláh mengirim kebanyakan dari Loh-Nya yang ditujukan kepada para raja dan penguasa di dunia serta mengumumkan Ajaran-Nya ke seluruh penjuru dunia. Bahá’u’lláh menyerukan kepada mereka untuk meninggalkan penindasan dan mengabdikan diri untuk kesejahteraan rakyatnya. Alangkah menakjubkan bahwa Seorang Tahanan dalam kondisi yang demikian mengharukan dapat menulis surat kepada para raja dan pemimpin saat itu, untuk menawarkan bimbingan bagaimana caranya untuk mempimpin masyarakatnya dengan belas kasih dan keadilan.

Rumah Abbúd, tempat tinggal Bahá’u’lláh di ʻAkkā
Rumah Abbúd, tempat tinggal Bahá’u’lláh di ʻAkkā

Melalui perjalanan yang sulit melalui darat dan laut, Bahá’u’lláh dan keluarga-Nya tiba di ‘Akká pada tanggal 31 Agustus 1968. Kota ‘Akká dipakai oleh Kesultanan Usmani sebagai tempat pembuangan para penjahat dan penghasut. Para Penduduk diberitahu bahwa orang-orang baru itu adalah musuh Negara, musuh Tuhan dan musuh agama-Nya. Sultan telah memerintahkan untuk mengurung mereka dalam penjagaan yang ketat, dan dia beserta para menterinya mengungkapkan harapan bahwa kondisi ‘Akká yang buruk akan mengakibatkan kebinasaan mereka.

Namun, dengan berlalunya waktu, masyarakat ‘Akká mulai menyadari bahwa kelompok kecil orang-orang buangan dari Persia itu tidak bersalah, dan kondisi pemenjaraan mereka pun diperlunak. Kebanyakan dari perubahan itu adalah berkat usaha ’Abdu’l-Bahá, yang akrab dengan penduduk kota dan mampu menunjukkan pada mereka maksud kaum Bahá’í dan jiwa Ajaran Ayah-Nya. Akhirnya Bahá’u’lláh sesekali dapat melewatkan waktu di daerah pedesaan dan menikmati keindahan dan pemandangan alam yang sangat Dia cintai.

Tahun-tahun terakhir hidup Bahá’u’lláh dilewatkan di Rumah Bahjí, sedikit di luar kota ‘Akká.  Walaupun perintah Sultan masih berlaku, dan secara resmi Bahá’u’lláh masih tetap seorang pesakitan di bawah pengawasan yang ketat, pada kenyataannya Dia dihormati dan dihargai seperti seorang raja. Bahkan para pejabat di daerah itu sering datang untuk meminta nasihat dan saran-Nya. Demikianlah kekuatan Wahyu Bahá’u’lláh dalam mengubah kalbu-kalbu manusia.

Rumah Bahjí, tempat dimakamkan-Nya Bahá’u’lláh
Rumah Bahjí, tempat dimakamkan-Nya Bahá’u’lláh

Selama tahun-tahun ketika seorang Utusan Tuhan berjalan di antara manusia, kekuatan-Nya yang luar biasa disebarkan ke seluruh dunia, menyebabkan perubahan yang besar pada kenyataan segala yang diciptakan. Pada Hari yang Mulia ini, Sabda Tuhan bagi umat manusia telah diwahyukan kepada Sang Suci Bahá’u’lláh selama hampir empat puluh tahun, menganugerahi alam ciptaan dengan potensi-potensi yang tak terbatas, yang dengan berkembangnya potensi-potensi itu akan melahirkan suatu peradaban yang keindahannya tak terbayangkan. Turunnya Wahyu Ilahi secara terus-menerus selama empat puluh tahun itu berakhir pada tanggal 29 Mei 1892.

Kabar tentang wafatnya Bahá’u’lláh segera disampaikan kepada Sultan melalui telegram. Pesan tersebut diawali dengan perkataan “Matahari Bahá telah terbenam” dan selanjutnya memberi tahu Sultan tentang rencana pemakaman bagi jasad suci di dekat Rumah Bahjí. Akhirnya dipilih sebuah ruangan kecil di rumah di sebelah barat Rumah Bahjí dan segera setelah matahari terbenam, pada hari wafat-Nya, Jasad-Nya dimakamkan.