Jamal Effendi dipilih oleh Bahá’u’lláh untuk mengadakan perjalanan ke India. Dia tiba di India sekitar tahun 1875. Selain mengunjungi beberapa wilayah di India, dia juga mengunjungi Sri Langka. Pada perjalanan-perjalanan berikutnya, dia didampingi oleh Sayyid Mustafa Rumi termasuk kunjungan ke Burma (Myanmar), pada tahun 1878 dan juga Penang (sekitar tahun 1883).

Pada sekitar tahun 1884-85, mereka meninggalkan usaha dagang mereka di Burma dan kembali melakukan perjalanan ke India. Dari sini mereka melanjutkan perjalanan ke Dacca (sekarang dikenal dengan nama Dhaka, ibu kota Bangladesh), kemudian ke Bombay dan setelah tinggal di sana selama tiga minggu, mereka pergi ke Madras.

Dari Madras, mereka berlayar ke Singapura ditemani dua orang pelayan yaitu Shamsu’d-Din dan Lapudoodoo dari Madras. Setelah mendapatkan ijin untuk berkunjung ke Jawa, mereka tiba di Batavia (Jakarta), dimana mereka ditempatkan di pemukiman Arab, Pakhojan. Mereka hanya diijinkan untuk mengunjungi kota-kota pelabuhan di Indonesia oleh pemerintah Belanda. Sayyid Mustafa Rumi, yang sangat berbakat dalam mempelajari bahasa, segera menguasai bahasa Melayu, menambah daftar panjang bahasa-bahasa yang telah dikuasainya.

Dari sini mereka berkunjung ke Surabaya, dan sepanjang garis pantai, mereka juga singgah di pulau Bali dan kemudian Lombok. Disini, melalui kepala bea cukai, mereka diatur untuk bertemu dan disambut oleh Raja yang beragama Buddha dan permaisurinya yang beragama Islam, dan mereka berbicara mengenai hal-hal kerohanian dengan Raja dan permaisurinya. Pemberhentian mereka selanjutnya adalah Makassar, di pulau Sulawesi. Menggunakan sebuah kapal kecil mereka berlayar ke pelabuhan Pare-Pare. Mereka disambut oleh Raja Fatta Arongmatua Aron Rafan dan anak perempuannya, Fatta Sima Tana. Fatta Sima Tana, belakangan, menyiapkan surat-surat adopsi untuk dua orang anak asli Bugis, bernama Nair dan Bashir, untuk membantu dan mengabdi di rumah di Akka. Sang Raja juga sangat tertarik dengan agama baru ini. Lalu mereka melanjutkan perjalanan ke Sedendring, Padalia dan Fammana.

Dengan menggunakan sampan, mereka melanjutkan perjalanan sepanjang sungai sampai mereka tiba dengan selamat di Bone. Disini, Raja Bone, seorang lelaki muda dan terpelajar, meminta mereka untuk menyiapkan suatu buku panduan untuk administrasi kerajaan dan Sayyid Mustafa Rumi melaporkan bahwa mereka telah menulisnya sejalan dengan ajaran-ajaran Bahá’i. Karena batas kunjungan empat bulan yang secara tegas diberikan oleh Gubernur Belanda di Makassar, mereka meninggalkan Sulawesi menuju ke Surabaya dan kemudian kembali ke Batavia. Setelah itu kembali ke Singapura dan ke bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Bashir, salah satu anak laki-laki Bugis itu, berhasil mencapai Akka dan bekerja di rumah Bahá’u’lláh.