Bahá’u’lláh, Yang bernama Mírzá Husáyn Ali, dilahirkan pada tanggal 12 November 1817 di Teheran, ibu kota Persia. Ayahnya, Mírzá Buzurg, adalah seorang bangsawan terkemuka yang memiliki kedudukan tinggi di istana Raja Persia. Sejak kecil, Bahá’u’lláh telah menunjukkan tanda-tanda kebesaran dan memperlihatkan pengetahuan serta kebijaksanaan yang luar biasa. Dia tidak belajar di sekolah umum dan hanya menerima sedikit pengajaran di rumah. Tentang masa kecil-Nya, ‘Abdu’l-Bahá berkata:

“Kesempurnaan Yang Diberkati, Bahá’u’lláh, seorang bangsawan Persia. Sejak masa kanak-kanak, Beliau terkemuka di antara sanak-saudara dan teman-teman-Nya. Mereka berkata, ‘Anak ini memiliki kemampuan yang luar biasa.’ Dia jauh melampaui usia-Nya dan unggul di lingkungan sekitar-Nya dalam hal kearifan, kecerdasan dan sebagai sumber pengetahuan baru. Semua orang yang mengenal-Nya kagum akan keunggulan-Nya. Mereka biasa mengatakan, ‘Anak seperti itu tidak akan hidup lama,’ karena sudah menjadi keyakinan umum bahwa anak-anak yang memiliki bakat luar biasa pada umur lebih dini daripada sebayanya tidak mencapai usia dewasa.”

Dalam sebuah Loh, Sang Suci Bahá’u’lláh sendiri menceritakan kisah masa kecil-Nya ketika Dia menghadiri pesta pernikahan salah seorang saudara-Nya di Teheran. Sudah menjadi adat dan tradisi di Teheran pada saat itu, sebuah pesta besar diadakan selama tujuh hari tujuh malam. Pada hari terakhir, untuk menghibur para tamu, ditampilkan sebuah pertunjukan wayang golek mengenai seorang raja yang terkenal. Bahá’u’lláh duduk di ruang atas menghadap halaman di mana sebuah tenda didirikan untuk pertunjukan tersebut.

Beliau menceritakan bahwa pertunjukan tersebut diawali dengan masuknya beberapa boneka kecil dalam bentuk manusia, yang mengumumkan bahwa raja akan segera datang. Kemudian muncul beberapa boneka lainnya. Ada yang menyapu, dan ada yang menyiramkan air untuk menyiapkan kedatangan raja. Segera setelah itu, seorang penyeru memasuki panggung dan mengumumkan agar orang-orang berkumpul untuk menghadap raja. Beberapa kelompok boneka muncul dan duduk di tempat masing-masing. Akhirnya, raja dengan megah memasuki ruangan. Dengan mahkota di kepalanya, dia berjalan perlahan dan dengan penuh kewibawaan, dan duduk di takhta. Sejumlah tembakan dilepaskan; terompet dibunyikan dan seluruh tenda dipenuhi asap.

Ketika asap menghilang, sang raja yang masih duduk di takhtanya, nampak dikelilingi oleh semua menteri, pangeran dan pejabat istana, yang berdiri tegak di hadapannya. Pada saat itu, seorang pencuri dibawa ke hadapan raja, dan raja memerintahkan agar pencuri tersebut dipenggal kepalanya. Dengan segera, pimpinan algojo melaksanakan perintahnya. Setelah pelaksanaan eksekusi itu, sang raja berbincang-bincang dengan para menteri dan pejabatnya. Tiba-tiba datang berita bahwa telah terjadi pemberontakan di salah satu perbatasan. Pasukan segera dikirim untuk menumpas pemberontakan itu. Beberapa menit kemudian, terdengar suara tembakan meriam dari balik layar, dan diberitahukan bahwa pasukan raja sedang bertempur melawan para pemberontak.

Begitulah pertunjukan drama dilanjutkan. Bahá’u’lláh amat bingung akan sifat dasar dari pertunjukan drama itu. Setelah pertunjukan selesai dan layar ditutup, Beliau melihat seorang laki-laki keluar dari balik tenda membawa sebuah kotak di bawah lengannya. “Kotak apa itu?” Bahá’u’lláh bertanya, “dan apakah sifat dasar dari pertunjukan tadi?” Orang itu menjawab, “Semua hiasan yang mewah-mewah, sang raja, semua pangeran dan menteri, kemegahan dan kemuliaan mereka, kekuatan dan kekuasaan mereka, semua yang kaulihat tadi, semuanya sekarang ada dalam kotak ini.” Pernyataan itu meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada Bahá’u’lláh, dan Beliau menyatakan bahwa:

“ … sejak saat itu, di mata Pemuda ini semua hiasan dunia tampak sama seperti pertunjukan itu. Semua hiasan itu dari dulu dan untuk selamanya tidak pernah memiliki bobot, walau hanya seberat butir biji sawi. … Tidak lama lagi semua hiasan lahiriah, timbunan harta benda, kebanggaan duniawi, kumpulan batalion-batalion, baju dan hiasan yang serba indah, jiwa-jiwa yang angkuh dan sombong itu—semuanya akan masuk ke dalam kurungan liang kubur, seperti ke dalam kotak tadi. Di mata orang-orang yang memiliki wawasan, semua percekcokkan, pertikaian dan kebanggaan yang berlebih-lebihan itu selalu, dan akan terus, seperti permainan anak-anak belaka.”

Kisah lain yang berhubungan dengan masa kecil Bahá’u’lláh adalah mengenai mimpi ayah Beliau. Dalam mimpi itu Sang Suci Bahá’u’lláh tampak seperti:

“ … sedang berenang di samudra yang sangat luas dan tak terbatas. Tubuh-Nya bersinar dengan cahaya yang menerangi lautan itu. Di sekeliling kepala-Nya yang kelihatan dengan jelas di atas air, bertebaranlah ke segala arah rambut-Nya yang hitam pekat dan panjang, mengapung lebat di atas ombak. … amat banyak ikan berkumpul di sekeliling-Nya, seekor ikan bergantung erat pada ujung setiap helai rambut. Terpesona oleh kegemilangan wajah-Nya, ikan-ikan itu mengikuti Dia ke mana saja Dia berenang. Meskipun jumlah ikan-ikan itu besar, dan betapapun kuatnya mereka bergantung pada rambut-Nya, namun tak sehelai rambut pun terlepas dari kepala-Nya, tak sedikit pun Dia terluka. Bebas dan tanpa hambatan, Ia bergerak di air dan mereka semua mengikuti-Nya.”

Karena terkesan oleh mimpi itu, ayah Bahá’u’lláh memanggil seorang bijak yang terkenal dan meminta orang itu untuk menafsirkan arti mimpinya. Seolah diilhami oleh pandangan sekilas dari kemuliaan masa depan Sang Suci Bahá’u’lláh, orang itu berkata:

“Samudra yang tak terbatas itu yang kaulihat dalam mimpimu, tak lain adalah dunia keberadaan ini. Seorang diri dan tanpa dibantu, puteramu akan mencapai kekuasaan tertinggi atas dunia keberadaan ini. Ia akan maju tanpa halangan ke mana pun Ia suka. Tak seorang pun akan menahan langkah-Nya, tak seorang pun menghambat keberhasilan-Nya. Banyaknya ikan artinya kekacauan yang akan Ia bangkitkan di tengah-tengah bangsa-bangsa dan kaum-kaum di dunia. Di sekeliling Dia mereka akan berkumpul, dan kepada Dia mereka akan bergantung. Yakin akan perlindungan yang terus menerus dari Yang Maha Kuasa, kegemparan itu tak akan membahayakan diri-Nya, tak pula kesendirian-Nya di lautan kehidupan akan mengancam keselamatan-Nya.”

Dengan semakin tumbuh dan dewasanya Bahá’u’lláh, tanda-tanda kebesaran-Nya pun semakin nyata. Ketika mencapai usia remaja, Dia termasyhur karena kecerdasan-Nya yang tinggi, akhlak-Nya yang unggul, serta kasih-sayang dan kedermawanan-Nya. Dia mampu memecahkan masalah-masalah yang pelik dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang rumit dan besar. Tetapi walaupun memiliki kemampuan yang luar biasa, Dia tidak pernah mengejar kedudukan dan pangkat. Ketika ayah-Nya meninggal, Bahá’u’lláh diminta untuk mengikuti jejak ayah-Nya dan menggantikan kedudukannya di istana Raja. Namun Dia menolak. Dia tidak tertarik pada gelar dan pangkat di dunia ini. Keinginannya adalah membela kaum miskin dan melindungi orang-orang yang tidak mampu. Pada usia delapan belas tahun, Bahá’u’lláh menikahi Asiyih Khanum dan rumah mereka menjadi tempat berteduh bagi semua orang. Setiap orang tanpa kecuali mereka terima dengan ramah.

Sang Suci Bahá’u’lláh berusia dua puluh tujuh tahun ketika Sang Báb mengumumkan Misi-Nya kepada Mullá Husayn di Shiráz pada tanggal 23 Mei 1844. Hanya tiga bulan setelah peristiwa bersejarah itu, Bahá’u’lláh menerima surat dari Sang Báb yang berisi beberapa Tulisan Suci-Nya. Beliau langsung naik saksi akan kebenaran Wahyu Sang Báb dan bangkit memajukan Ajaran-Nya. Kisah tentang bagaimana Bahá’u’lláh menerima surat itu adalah sebagai berikut.

Segera setelah Sang Báb menunjuk murid-murid pilihan-Nya, yakni delapan belas Huruf Hidup, Dia memanggil mereka ke hadapan-Nya dan memerintahkan mereka untuk menyebar dan mengajarkan Agama-Nya. Dia memberi mereka masing-masing sebuah tugas khusus; dan kepada beberapa dari mereka, Dia menetapkan provinsi kampung halaman mereka sendiri sebagai medan upaya mereka. Di antara delapan belas jiwa yang diberkati ini, Quddús dipilih untuk menemani-Nya beribadah haji ke Mekah, di mana Beliau akan mengumumkan Misi-Nya. Kepada Mullá Husayn, orang yang pertama beriman kepada-Nya, Dia menyampaikan kata-kata berikut: “Janganlah bersedih engkau tidak dipilih untuk menemani-Ku naik haji ke Hijáz. Sebagai gantinya, Aku akan mengarahkan langkah-langkahmu ke kota yang menyembunyikan sebuah Rahasia yang teramat suci yang tak dapat ditandingi oleh Hijáz maupun Shíráz.” Beliau memberi Mullá Husayn sebuah gulungan surat dan memerintahkannya untuk berangkat ke Teheran. Dia menyuruh Mullá Husayn memohon kepada Tuhan agar ia dapat mengenali kecemerlangan rahasia yang tersembunyi di kota itu dan memasuki kehadiran Sang Kekasih.

Mullá Husayn berangkat melakukan misinya, dan akhirnya tiba di Teheran setelah melewati beberapa kota. Di sana dia menempati sebuah kamar di suatu madrasah. Salah satu tindakannya yang pertama adalah mengumumkan Amanat Sang Báb kepada pimpinan sekolah itu, yang menolaknya dengan sombong. Namun demikian, seorang siswa sekolah itu mendengar percakapan mereka dan sangat terpengaruh oleh kata-kata Mullá Husayn. Dia memutuskan untuk menemui Mullá Husayn di tengah malam dan belajar lebih banyak lagi Amanat yang diumumkannya dengan bersemangat itu. Mullá Husayn menerima pemuda itu dan berbicara kepadanya dengan amat sopan dan ramah. Dia mengatakan kepada pemuda itu bahwa sekarang dia sudah mengerti mengapa dia harus datang ke tempat itu. Pimpinan sekolah dengan menghina telah menolak Amanat yang dibawanya. “Harapanku,” kata Mullá Husayn, “adalah agar muridnya—tidak seperti gurunya—dapat mengenali kebenaran.”

Dalam perbincangan mereka, Mullá Husayn menanyai murid itu dari mana dia berasal. Murid itu menjawab bahwa dia berasal dari Núr, provinsi Mázindarán. “Katakan kepadaku,” tanya Mullá Husayn, “adakah pada saat ini di antara keluarga almarhum Mírzá Buzurg-i-Núri—yang begitu masyhur karena akhlaknya, pesonanya, karya seni dan kecendekiaannya—seorang yang telah membuktikan dirinya sanggup meneruskan tradisi mulia dari keluarga yang termasyhur itu?”

“Ya,” jawab pemuda itu, “di antara putera-puteranya yang sekarang masih hidup, seorang puteranya kini sudah terkenal dengan sifat-sifat yang menjadi ciri-ciri ayah-Nya. Dengan hidupnya yang suci, prestasi-Nya yang tinggi, kasih sayang dan kedermawanan-Nya, Ia membuktikan Diri-Nya sebagai seorang keturunan yang mulia dari seorang ayah yang mulia.” “Apakah pekerjaan-Nya?” tanya Mullá Husayn. “Ia menghibur orang yang sedih dan memberi makan orang yang lapar.” “Apakah pangkat dan kedudukan-Nya?” “Ia tak memilikinya selain daripada berteman dengan kaum miskin dan orang-orang yang tidak mempunyai teman.” “Siapakah nama-Nya?” “Husayn-Ali.”

Dengan mendengar setiap jawaban, Mullá Husayn menjadi semakin riang. “Bagaimanakah Ia melewatkan waktunya?” tanyanya lebih lanjut. “Ia berkelana di hutan dan menikmati keindahan alam.” “Berapa usia-Nya?” “Dua puluh delapan.” Wajah Mullá Husayn memancarkan kepuasan dan kegembiraan ketika dia menanyai pemuda itu: “Kurasa engkau sering menemui-Nya?” “Saya sering mengunjungi rumah-Nya,” dia menjawab. “Maukah engkau menyerahkan kepada-Nya sebuah amanah dariku?” “Tentu saja,” jawabnya. Kemudian Mullá Husayn menyerahkan kepadanya gulungan surat yang dibungkus sehelai kain dan memintanya agar menyerahkan surat itu kepada Bahá’u’lláh keesokan harinya pada waktu fajar. “Seandainya Dia sudi menjawabku,” Mullá Husayn menambahkan, “bersediakah engkau menyampaikan padaku jawaban-Nya?” Murid itu mengambil gulungan surat dan, di waktu fajar, bangkit melaksanakan permintaan Mullá Husayn.

Saat dia mendekati rumah Bahá’u’lláh, dia melihat saudara laki-laki-Nya, Mírzá Mứsa, sedang berdiri di pintu gerbang dan dia menjelaskan alasan dari kunjungannya. Mírzá Mứsa membimbing pemuda itu ke hadapan Bahá’u’lláh, dan gulungan surat itu ditaruh di hadapan Beliau. Bahá’u’lláh mempersilahkan mereka duduk. Setelah membuka gulungan, Beliau mulai membaca dengan keras beberapa kalimat dari surat itu. Beliau baru membaca satu lembar dari surat itu ketika Dia menoleh kepada saudara-Nya dan berkata: “Musa, bagaimana pendapatmu? Sesungguhnya Aku katakan, barangsiapa percaya akan Al-Qur’án dan mengakui asal-usul Ilahiahnya, namun ragu-ragu, meskipun hanya sesaat, untuk mengakui bahwa kalimat-kalimat yang menggerakkan hati ini dianugerahi dengan kekuatan pembaharuan yang sama, pastilah keliru dalam penilaiannya dan tersesat jauh dari jalan keadilan.” Ketika melepas pemuda itu dari hadapan-Nya, Bahá’u’lláh memintanya membawa hadiah dari-Nya untuk Mullá Husayn berupa satu lonjor gula dan sebungkus teh, dan meminta agar menyampaikan pada dia penghargaan dan cinta-Nya.

Dengan gembira, pemuda itu bangkit dan bergegas kembali ke Mullá Husayn. Dia menyampaikan kepadanya hadiah dan pesan dari Sang Suci Bahá’u’lláh. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kegembiraan Mullá Husayn ketika menerima hadiah dan pesan tersebut. Dengan kepala tertunduk, dia menerima hadiah itu dan menciumnya dengan kuat. Kemudian dia memeluk pemuda itu, mencium matanya, dan berkata: “Sahabatku yang tercinta! Aku berdoa semoga Tuhan mengganjarmu kebahagiaan yang abadi dan memenuhi hatimu dengan kegembiraan yang tak dapat musnah, sebagaimana engkau telah membahagiakan hatiku.” Pemuda itu sangat heran akan sikap Mullá Husayn. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan hubungan yang menyatukan dua orang itu? Apa yang telah menyebabkan persahabatan di antara mereka? Mengapa Mullá Husayn menunjukkan kebahagiaan yang begitu besar saat menerima hadiah kecil dari Bahá’u’lláh? Pemuda itu dihadapkan pada sebuah misteri yang tak dapat dipecahkannya.

Beberapa hari kemudian, Mullá Husayn berangkat ke Khurásán, sebuah provinsi di sebelah timur laut Iran. Saat dia mengucapkan kata-kata perpisahan kepada siswa muda dari Núr itu, dia berkata padanya: “Janganlah mengatakan kepada siapa pun apa yang telah engkau dengar dan saksikan. Biarlah ini menjadi rahasia yang tersembunyi dalam hatimu. Jangan mengumumkan nama-Nya, karena mereka yang iri pada kedudukan-Nya akan bangkit untuk mencelakai-Nya. Dalam saat-saat tafakurmu, berdoalah semoga Yang Maha Kuasa melindungi Dia, agar melalui-Nya, Ia dapat meluhurkan yang tertindas, memperkaya yang miskin, dan menyelamatkan yang terperosok. Rahasia segala hal tersembunyi dari mata kita. Tugas kita adalah menyerukan panggilan Hari Baru dan mengumumkan Amanat Ilahi ini kepada semua orang. Banyak orang di kota ini akan menumpahkan darahnya di jalan ini. Darah itu akan menyirami Pohon Tuhan, akan menyebabkannya tumbuh, dan meneduhi seluruh umat manusia.”